find the way..

find the way..

Selasa, 16 Oktober 2012

teori dan karakteristik agresif



1.       Teori-teori Agresif
Banyak teori mengenai agresif yang dikemukakan oleh ahli-ahli psikologi yang masing-masing dilandasi oleh kemampuannya masing-masing. Tetapi hingga saat ini terdapat tiga teori yang agresif yang dianggap cukup berpengaruh, yakni diantaranya:
a.      Teori instink
Tokoh utama dari reori ini adalah Sigmun Freud, Kontrad Lorenz dan Robert Ardrey. Teori paling klasik tentang perilaku agresif ini mengemukakan bahwa manusia memilki insting bawaan secara genetis untuk berperilaku agresif. Freud (Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:196) menjelaskan bahwa: “pada dasarnya pada diri manusia terdapat dua macam instink, yaitu instink untuk hidup dan instink untuk mati”. Robber Baron (Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:197) menyatakan bahwa: “agresif merupakan tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut”. Dengan demikian ada empat unsur dalam agresif: 1) Mempunyai tujuan untuk mencelakakan. 2) Ada individu yang menjadi pelaku. 3) Ada individu yang  menjadi korban. 4) Ketidak inginan korban untuk menerima tingkah laku korban.  
1.      Teori Psikoanalisa
Tokoh Psikoanalis, Sigmund Freud (Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:198) mengemukakan bahwa perilaku agresif merupakan gambaran ekspresi yang sangat kuat dari insting untuk mati (thanatos). Dengan melakukan agresif, maka secara mekanis individu telah berhasil mengeluarkan energi destruktifnya dalam rangka menstabilkan keseimbangan mental antara insting mencintai (eros) dan insting kemaitian (thanatos) yang ada dalam dirinya.
Energi destruktif individu dapat dikeluarkan dalam bentuk perilaku yang tidak merusak, namun yang hanya bersifat sementara. Kemudian aliran Neufreudian merevisi teori-teori tersebut. Dikemukakan oleh Wrighsman dan Deaux (Tri Dayakisna dan Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:197) menyatakan bahwa agresif adalah bagian dari ego yang berorientasi pada kenyataan sehingga dorongan agresif adalah suatu yang sehat karena bertujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang nyata dari menusia.
Selanjutnya Wrighsman dan Deaux (Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:197) menunjukkan suatu revisi yang dilakukan oleh pengikut-pengikut Neo-Freudian. Mereka mengatakan bahwa: “agresif merupakan bagian dari ego (bagian dari kepribadian yang berorientasi pada kenyataan) daripada menempatkan agresif di antara proses-proses irrasional id”. Menurut mereka dorongan agresif adalah sehat, karena merupakan usaha untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang nyata dari manusia.
2.        Teori Etologi: Konrad Lorenz dan Robert Ardrey
Lorenz dipandang sebagai bapak pendiri Etologi. Menurut dia, dorongan agresif yang ada di dalam diri setiap mahluk hidup yang memiliki fungsi dan peranan penting bagi pemeliharaan hidup atau dengan kata lain memiliki nilai survival. Sejalan dengan Freud, Lorenz merumuskan instink dengan menggunakan konsep energy serta menggunakan model hidraulik untuk menerangkan proses kemunculan atau mekanisme tingkah laku instinktif/naluriah.
Lorenz (Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:198) berasumsi bahwa: “setiap tingkah laku naluriah memiliki sumber energi yang disebut energi tindakan spesifik (action specific energy) dan kemunculannya dikunci oleh mekanisme pelepasan bawaan (innate releasing mechanism)”. Stimulus yang bisa membuka kunci mekanisme pelepasan bawaan sehingga suatu tingkah laku naluriah bisa muncul adalah stimulus tertentu yang cocok dengan mekanisme pelepasan bawaan tersebut. Stimulus ini bisa berupa stimulus yang berasal dari lingkungan (disebut stimulus kunci) juga bisa berupa tingkah laku yang spesifik yang ditunjukkan oleh anggota spesies yang sama (disebut pelepas sosial).
Senada dengan Lorenz, Robert Ardrey (Tri Dayakini dan Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:199) juga mendasarkan pada teori evolusi Darwin dalam penelitiannya tentang perilaku agresif. Menurut Ardrey, manusia sejak kelahirannya telah membawa “killing imperative” dengan hal ini manusia dihinggapi obsesi untuk menciptakan senjata dan menggunakan senjatanya itu untuk membunuh (apabila diperlukan). Tetapi manusia juga memiliki mekanisme pengendalian kognitif yang mengimbangi keharusan membunuh. Salah satu pengimbang tersebut yakni nurani. Nurani ini memainkan peranan dalam menghambat agresif intra spesies.

b.      Teori Frustasi-Agresif
Dikemukakan oleh John Dollard dan Neal Miller. Teori ini berpendapat bahwa agresif merupakan hasil dari dorongan untuk mengakhiri keadaan frustrasi seseorang sebagai reaksi terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini frustrasi adalah kendala-kendala eksternal yang menghalangi perilaku seseorang. Dapat atau tidaknya frustrasi menimbulkan reaksi agresif bergantung pada pengaruh variabel perantara. Misalnya ketakutan terhadap hukuman karena melakukan tindakan agresif secara nyata, atau tanda-tanda yang berhubungan dengan perilaku agresif sebagai faktor-faktor yang memfasilitasi perilaku agresif.

 





Gambar 1
 Hubungan antara arustasi dan agresif
Sumber: Buku Psikologi Sosial (Tridayakisni dan Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003)

Keterangan gambar:
            Frustasi (keadaan tidak tercapainya tujuan perilaku) menciptakan suatu motif untuk agresif. Ketakutan akan hukuman atau tidak disetujui untuk agresif melawan sumber penyebab frustasi mengakibatkan dorongan agresif diarahkan melawan sasaran lain.

c.       Teori Belajar Sosial
            Teori ini menjelaskan bahwa perilaku agresif sebagai perilaku yang dipelajari. Albert Bandura (Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:202) menyatakan bahwa: “perilaku agresif merupakan hasil dari proses belajar sosial”. Belajar sosial adalah belajar melalui mekanisme belajar pengamatan dalam dunia sosial. Teori belajar sosial menekankan kondisi lingkungan yang membuat seseorang memperoleh dan memelihara respon-respon agresif. Asumsi dasar dari teori ini adalah sebagian besar tingkah laku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi model. Dengan demikian, para ahli teori ini percaya bahwa observational atau social modeling adalah metode yang lebih sering menyebabkan agresif. Anak-anak yang melihat model orang dewasa agresif secara konsisten akan lebih agresif bila dibandingkan dengan anak-anak yang melihat model orang dewasa non-agresif.
            Model teoritik tentang perkembangan agresif pada anak-anak menurut Housman (Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:204) adalah adanya “aggressive cognitive script” yang diperoleh anak. Sebenarnya skrip ini merupakan suatu program untuk berperilaku yang dipelajari pada saat awal kehidupan, disimpan dalam ingatannya dan pada gilirannya akan digunakan sebagai petunjuk dalam berperilaku dan memecahkan suatu persoalan sosial. Secara umum, semakin sesuai antara situasi yang dihadapi anak dengan karakteristik situasi yang diingat dalam ingatannya, maka semakin besar kemungkinan digunakannya skrip tersebut sebagai petunjuk berperilaku.









 



rewards and cost
 
Aggression
 
Anticipated consequences
 
 
Bodily system
 
           




Self-anesthetization with drugs and alcohol
 


Constructive problem solving
 
 



Gambar 2
 Pandangan Teori Belajar Sosial tentang Agresif
Sumber: Buku Psikologi Sosial (Tri Dayakisni an Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003)

2.      Perkembangan dan Bentuk-bentuk Agresif
Perilaku agresif sebenarnya sudah terlihat pada masa bayi. Bolman (Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:213) menjelaskan bahwa: “dalam usia 0-6 bulan individu sudah memperlihatkan agresifnya meskipun belum dapat dibedakan bentuknya, perilaku mereka bertujuan mengurangi ketegangan”. Agresif tersebut utamanya adalah dijadikan alat untuk memperoleh sesuatu.
Anak-anak usia sekolah taman kanak-kanak bertengkar dan berkelahi untuk memperebutkan sebuah mainan. Kemudian pada usia selanjutnya yakni pada usia sekolah dasar, anak lebih mengarahkan agresifnya pada orang lain yang diwujudkan dalam bentuk mengejek, mencela, menggoda dan sebagainya. Pada tahap usia remaja, bentuk agresif dibedakan menjadi beberapa tipe tertentu meskipun tidak dapat dipisahkan secara jelas dengan agresif pada anak-anak dan orang dewasa.
Bolman (Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:213) menjelaskan bahwa: “perilaku agresif yang timbul pada usia 6-14 tahun adalah berupa kemarahan, kejengkelan, rasa iri, tamak, cemburu, dan suka mengkritik”. Hal tersebut mereka arahkan kepada teman sebaya, saudara sekandung, juga pada dirinya sendiri. Perilaku ini dilatarbelakangi adanya keinginan untuk menang, bersaing, meyakinkan diri, menuntut keadilan, dan memuaskan perasaan. Selain itu, mereka juga senang berkelahi secara fisik untuk anak laki-laki dan berperang mulut untuk anak perempuan. Setelah itu pada usia 14 tahun sampai dewasa, mereka sudah mulai memodifikasi perasaan agresif, misalnya dalam bentuk aktivitas kerja dan olahraga.
Bentuk-bentuk agresif ini kemudian diperjelas oleh Delut (Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:213) digambarkan dalam bentuk item-item dari factor analysis of behavioral checklist, yang terdiri dari:
 a) Menyerang secara fisik (memukul, merusak, mendorong). b) Menyerang dengan kata-kata. c) Mencela orang lain. d) Menyerbu daerah orang lain. e) Mengancam melukai orang lain. f) Main perintah. g) Melanggar milik orang lain. h) Tidak mentaati perintah. i) Membuat permintaan yang tidak pantas dan tidak perlu. j) Bersorak-sorak, berteriak, atau berbicara keras pada saat yang tidak pantas. k) Menyerang tingkah laku yang dibenci.

Sementara itu, Medinus dan Johnson (Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:214) mengelompokkan agresif menjadi empat ketegori, yaitu:
1.      Menyerang secara fisik, yang termasuk di dalamnya adalah memukul, mendorong, meludahi, menendang, menggigit, meninju, memarahi, dan merampas.
2.      Menyerang suatu objek, yang dimaksudkan disini adalah menyerang benda mati atau binatang.
3.      Secara verbal atau simbolis, yang termasuk di dalamnya adalah, mengancam secara verbal, memburuk-burukkan orang lain, sikap mengancam dan sikap menuntut.
4.      Pelanggaran terhadap hak milik atau menyerang daerah orang lain.

Definisi Agresif dalam arti yang sebenarnya



Secara umum agresif atau agresif dapat diartikan sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap organisme lain, objek lain atau bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua mahluk, sementara pada tingkat manusia masalah agresif sangat kompleks karena adanya peranan perasaan dan proses-proses simbolik. Sedangkan menurut pandangan behavioristik, bahwa perilaku agresif ini adalah: “suatu tindakan yang membawa ransangan atau resiko berbahaya terhadap organisme lain”.
Selain dari pengertian tersebut, Geen dalam bukunya Gordon Russel (2008:3) menyatakan bahwa: “Agression is the delivery of an aversive stimulus from one person to another with intent to harm and with an expectation of causing such harm, when the other person is motivated to escape or avoid the stimulus”. Senada dengan pandangan tersebut Bushman dan Anderson (Gordon, 2008:4) menyatakan bahwa:
Agression is behavior directed toward an other individual that is carried out with the proximate (immediate) intent to cause harm. In addition, the perpretator must believe that the behavior will harm the target and that the target is motivated to avoid the behavior”

Pengertian mengenai agresif pula dijelaskan oleh Robert Baron (Hudaniah dan Tri Dayakisni, 2003:195), dia menyatakan bahwa: “agresif adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut”. Definisi dari Baron ini mencakup empat faktor tingkah laku, yaitu: tujuan untuk melukai atau mencelakakan, inividu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban dan ketidakinginan si korban menerima perilaku si pelaku.
Jika kita ingin menekankan kepada ciri-ciri atau karakter tindakan sebagai suatu yang disengaja, maka perilaku agresif dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk perilaku yang dirancang untuk merusak atau melukai kehidupan orang lain. Dalam hal ini, pihak korban tentu terdorong atau termotivasi untuk menghindarkan diri dari perlakuan yang demikian.
Pada umumnya istilah agresif dapat dibedakan offensive aggression yakni, agresif yang tidak secara langsung disebabkan oleh perilaku orang lain. Sebaliknya yakni retaliatory aggression yakni agresif yang merupakan respon terhadap provokasi orang lain. Berdasarkan pada niatnya dibedakan menjadi instrumental aggression yakni, terjadi ketika agresif adalah niat untuk mencapai tujuan tertentu (seperti perampokkan), sementara angry aggression yakni perilaku agresif yang melibatkan keadaan emosional seseorang yang sedang marah (seperti dalam perkelahian).
Beberapa ahli psikologi olahraga menyatakan bahwa perilaku agresif yang bersifat permusuhan dan yang bersifat instrumental harus dibedakan secara jelas dengan perilaku agresif positif atau ketegasan (assertiveness) yang menyatu dalam olahraga. Misalnya seorang petarung yang menghindari serangan lawan kemudian menyerang kembali dengan tendangan lingkar dalam yang cepat kearah muka, sehingga mengakibatkan lawan terjatuh. Tindakan tegas petarung tersebut dengan terpaksa dilakukannya dalam rangka mempertahankan poinnya.
Tentu saja permainan menurut aturan dengan intensitas dan emosi yang tinggi, tetapi tanpa bermaksud untuk mencedrai lawan, tidak dapat dipandang sebagai suatu perilaku agresif. Meskipun sering mengalami kesulitan dalam membedakan antara perilaku agresif dengan ketegasan dalam olahraga.
Sesungguhnya apa akar dari perilaku agresif ini? Apakah usia terkait secara alamiah dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada perilaku agresif ini? Pada tahun-tahun pertama kehidupan seorang bayi dapat menjadi amat kasar kepada sesamanya atau antar satu sama lain, ketika mereka hendak memilki atau menguasai mainannya. Pertengkaran-pertengkaran ini biasanya terjadi saat usia dua tahun. Ada perubahan-perubahan dalam hal terlalu seringnya perilaku agresif pada masa usia sebelum sekolah, Rusli Ibrahim (2007:69) menyatakan bahwa:
1.      Ganguan tabiat buruk berkurang selama periode sebelum sekolah, dan jarang terjadi setelah usia empat tahun;
2.      Setelah lewat usia tiga tahun, jumlah anak-anak yang cenderung balas dendam dengan respons atau tindakan menyerang atau frustasi cenderung meningkat secara dramatis;
3.      Frustasi yang mengarah kepada agresif pada usia dua sampai tiga tahun sering dating dari orang tua yang otoriter. Anak-anak yang lebih tua usianya lebih mungkin berperilaku agresif, karena terjadi konflik dengan teman sebayanya;
4.      Frekuensi interaksi agresif berkurang antara usia dua sampai lima tahun. Penurunan frekuensi agresif ini mungkin merupakan hasil usaha orang tua di rumah dan guru di sekolah yang mengajari anak-anak mengatasi konflik secara damai;
5.      Selama tahun-tahun pertama periode sekolah dasar, penggunaan agresif fisik untuk mengatasi konflik selanjutnya berkurang. Kendati demikian, provokasi langsung untuk menghilangkan perilaku agresif yang bersifat reaktif pada anak-anak sekolah dasar terus dilanjutkan. Peningkatan gejala perilaku bermusuhan ini boleh jadi berkaitan dengan kenyataan bahwa anak-anak pada usia ini lebih mampu menebak motif-motif, dan maksud-maksud orang lain;
6.      Sekitar masa remaja awal dan remaja akhir (usia 10-18 tahun), perkelahian dan perilaku agresif bermusuhan pertama-tama meningkat hingga usia 13-15tahun, dan kemudian menurun setelah itu.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada perilaku agresif, ditemukan bahwa perkembangan perilaku agresif terjadi sejak masa bayi, dilanjutkan dengan pada masa pra-sekolah, masa usia sekolah, remaja hingga dewasa. Namun demikian ditemukan bahwa ada masa kritis dimana perilaku agresif dapat menjadi sebuah kecenderungan yang dapat bertahan sampai masa dewasa. Masa tersebut adalah masa usia sekolah dan remaja. Pada masa usia sekolah, perilaku agresif dapat menjadi sumber kenakalan kronis dan kejahatan pada remaja.
Bahkan penelitian dari Leonard Eron menunjukkan bahwa dengan melihat anak pada waktu berusia 8 tahun, maka dapat diketahui seberapa agresif seseorang pada saat dewasa. Pada saat remaja, perilaku agresif yang belum dapat diatasi. akan semakin lebih berbahaya, karena dapat melanggar hukum dan menjurus pada perkelahian dan tindakan kekerasan. Lebih khusus lagi pada saat remaja awal, dimana terjadi konflik ororitas dan hubungan dengan teman sebaya yang menguat, maka bentuk-bentuk perilaku agresif seseorang lebih nyata. Untuk itu usaha untuk menciptakan anak usia sekolah dan remaja awal yang dapat mengendalikan diri sangat penting dilakukan.
Penelitian menunjukkan bahwa remaja awal yang dapat mengendalikan diri, hangat, bertanggung jawab dan bekerja sama akan cenderung bersikap sama hingga 30 tahun kemudian. Pada usia 8-12 tahun adalah agresif tidak jelas yaitu perilaku mengganggu, berbohong atau merusak benda sedangkan pada usia 12-14 tahun adalah agresif yang bersifat jelas atau berupa tindakan kekerasan seperti berkelahi atau menyerang bahkan memaksakan perilaku seks pada seseorang. Dengan demikian untuk memahami penyebab perilaku agresif sangat penting untuk memfokuskan pada pengalaman dan keterlibatan anak dalam kekerasan pada masa usia sekolah dan remaja awal.
 Penelitian mengenai perilaku agresif telah banyak dilakukan di negara Barat baik dari segi biologis, psikologis maupun sosial. Bandura melalui Social learning theory menyebutkan bahwa kondisi lingkungan dan sosial dapat mengajarkan individu menjadi agresif. Hal ini diakibatkan seseorang, mempelajari tingkah laku baru melalui imitasi pada orang lain yang dianggap penting.